![]() |
Photo: Ilustrasi |
Bukittinggi, BaritoNagariNews.Com – Di tengah gemerlap pemberitaan resmi dan hingar bingar kesibukan orang, masih ada sekelompok kecil jurnalis yang terus berjuang dengan alat seadanya, tanpa undangan, tanpa apresiasi, bahkan tanpa dianggap ada.
Mereka bukan jurnalis media arus utama, bukan pula bagian dari jaringan kekuasaan yang nyaman. Namun mereka tetap hadir di tengah masyarakat, mencatat, memotret, dan mengetik dengan handphone lusuh—dengan harapan sederhana: berita mereka dibaca, dan jerih payah mereka dihargai.
“Kami bukan tak bisa profesional. Kami hanya tak punya akses yang sama. Kami masih dihalangi pintu demi pintu, padahal berita yang kami bawa juga tentang rakyat yang sama,” ujar salah seorang jurnalis yang enggan disebutkan namanya.
Kenyataan getir itu makin terasa ketika sebagian jurnalis lain telah lebih dulu “selamat”—terserap dalam kemitraan formal bersama instansi pemerintahan. Sebuah bentuk kerja sama yang kadang tertutup dan hanya menggandeng media-media tertentu.
Tak berhenti di situ, suara minor dari para jurnalis independen ini kerap kali ditekan secara halus. Sebagian staf yang menangani kerjasama dengan para jurnalis bahkan memilih bungkam ketika ditanya soal keadilan distribusi informasi dan kerja sama media.
“Mungkin mereka terlalu tahu, dan takut kehilangan jabatan. Tapi diam juga bisa membunuh kami pelan-pelan,” kata seorang jurnalis perempuan, matanya sembab setelah mengetik laporan panjang di sela keramaian acara.
Mereka yang memegang kamera canggih mungkin bisa menyampaikan berita dengan jelas. Tapi ada juga yang hanya bermodalkan handphone retak dan paket data seadanya, menyusuri lorong pasar dan pinggiran kampung, merekam suara masyarakat yang jarang masuk berita utama.
“Kami menulis dengan darah dan nyawa, bukan cuma tinta dan kopi,” sambungnya lirih.
Di balik headline yang megah, ada nama-nama yang sengaja disingkirkan dari daftar media partner. Ada keringat yang tidak dihargai, karena dianggap "tidak resmi", "tak punya badan hukum", atau "tidak sesuai selera pemberi anggaran".
Kini, mereka hanya ingin diakui. Bukan untuk dipuja, tapi agar tetap bisa hidup dari kerja keras mereka sendiri.
“Jangan bunuh mata pena kami dengan sinis dan basa-basi,” tegas seorang jurnalis senior yang pernah mengabdi puluhan tahun tanpa pernah masuk daftar kerja sama media pemerintah.
Dan jika suatu hari mereka pergi satu per satu, kalah oleh lapar dan diabaikan oleh sistem, sejarah akan mencatat: pernah ada sekelompok kecil jurnalis, yang menulis dari pinggir, tapi suaranya menggema hingga inti nurani.
Oleh: Cemara
0 Komentar