Orang Minang Tak Perlu Diajari Toleransi, Karena Adat Kami Lebih Dulu Memahaminya.
Baritonagarinews.com - Dalam hiruk-pikuk wacana toleransi di republik ini, ada kesan bahwa seolah semua pihak harus diajari ulang tentang bagaimana hidup berdampingan. Tapi izinkan kami dari Ranah Minang menyampaikan dengan tegas:
Kami orang Minangkabau, tidak perlu diajari ulang soal toleransi.
Kenapa ? Karena toleransi telah hidup dalam darah adat kami jauh sebelum kata itu menjadi jargon modern.
Kami tumbuh dalam falsafah, “Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang lapang; tatungkuik samo makan tanah, baliak ka kampuang ado induak ado mamak.”
Dalam adat Minangkabau, keberagaman itu bukan hal yang mengganggu, tapi dianyam menjadi kekuatan hidup bersama. Lihatlah bagaimana kami menyebut “urang sumando” yang bukan satu suku atau bahkan berbeda agama pun tetap kami akui sebagai bagian keluarga, selama menjaga sopan dan marwah rumah gadang.
Dalam musyawarah adat, setiap suara dipertimbangkan. Bahkan yang muda dibimbing, yang tua dihormati, yang berbeda tidak disingkirkan. Inilah bentuk toleransi substantif, bukan sekadar seremoni.
Adat kami tegak di atas “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.”
Jika syarak memerintahkan untuk menghormati sesama manusia, maka adat menjalankannya dalam keseharian: dari membagi tanah ulayat, menghormati tamu, sampai tidak mengganggu keyakinan orang lain.
Jangan ajari kami toleransi dengan narasi yang memosisikan kami seakan-akan asing terhadapnya. Kami tidak keras kepala. Tapi kami juga tidak tuli sejarah.
Jadi kalau bicaro toleransi, belajarlah dari adat kami yang telah mempraktikkannya, bukan sekadar mengucapkannya.
Salam hormat ambo sampaikan ka niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, saparuik sadonyo.
Di ranah nan bapucuak adat, di lambah nan babatang syarak, izinkan ambo menyampaikan sapatah kato dari lubuk hati badan diri dan urang awak.
Bahwa kini banyak orang bicara soal toleransi — seolah itu barang baru, seolah itu belum pernah dikenal di nagari kami. Maka, ambo ingin menyampaikan dengan lantang, kami urang Minang tak perlu diajari lagi tentang toleransi.
Sebab, dalam tataran adat kami, hidup bakawan sabalun mamak, hidup basamo sanak sadunsanak.
Bak kato pepatah:
“Ka lurah indak ka batuak, ka gunuang indak ka pucuak; urang datang kami sambut, urang lapeh kami antar.”
Adat kami tak mengajarkan benci,
Syarak kami tak membenarkan semena-mena.
Bahkan tamu nan datang kami muliakan,
Walau beda bahasa, walau lain nan diyakini.
Dalam rumah gadang kami,
Ada sumando dari rantau jauh, Ada mamak nan sabalun agama, Tapi tetap kami bajalan saayun, salangkah, sabatin.
Maka, kepada nan basuara lantang soal toleransi,
Datanglah ke Minangkabau, duduklah di lapau, pandanglah alek nagari.
Di sana kami bukan hanya bicara, tapi telah menghidupkan toleransi sejak dari kandungan adat***
Redaksi/penulis : ALDEFRI MALIN BAGINDO
Advokat dan Konsultan Hukum - Pendiri Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Adat Minangkabau (LPP AM) Sumbar
Komentar0