TSOlTfzlGpdoGUGlTpzlTUOiTd==

Kok Manih Jan Lansuang Dilulua, Kok Pahik Jan Lansuang Dimuntahkan

Aldefri,SH,Malin Bagindo


Kok manih jan lansuang dilulua, kok pahik jan lansuang dimuntahkan
(Kalau manis jangan langsung ditelan, kalau pahit jangan langsung dimuntahkan-red)

Baritonagarinews.com - Di tengah pusaran zaman yang cepat dan terbuka ini, petuah adat Minangkabau yang satu ini terasa seperti rem bagi lisan yang tak sabar, jari yang gegabah mengetik, dan hati yang mudah meledak. Dalam adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK), petuah ini bukan sekadar nasihat, tetapi panduan hidup yang mengakar dalam nilai Islam dan budaya luhur.

Jangan Bangga Berlebihan, Jangan Umbar Aib

Petuah ini mengajarkan kita dua hal sekaligus: menahan diri saat senang, dan bersabar saat kecewa. Ketika kita memperoleh kebaikan, pencapaian, atau penghormatan, adat menyuruh kita untuk merendah dan tidak membanggakan secara berlebihan. Manisnya kehidupan tak perlu selalu diumbar. Sebab, dalam adat Minangkabau dikatakan: “Nan elok indak buliah dicanang, nan buruak indak buliah dibari tahu.”

Sebaliknya, saat mendapatkan ujian, kegagalan, atau rasa pahit dalam hidup, petuah ini menahan kita untuk tidak serta-merta menyebarkannya ke mana-mana. Aib keluarga, masalah pribadi, atau perbedaan dalam rumah tangga bukan konsumsi publik.

Coba bayangkan, berapa banyak hubungan rusak karena kata-kata yang tak ditimbang? Berapa banyak masalah kecil yang membesar karena cerita manis diumbar, atau luka lama diumbar ke media sosial?

Di dalam rumah tangga, kearifan ini mengajarkan:
“Sasudah tabuang, jan dicaliak; sasudah carai, jan dicari.”
(Sudah dibuang, jangan diambil kembali. Sudah bercerai, jangan diungkit lagi.)

Sementara dalam masyarakat adat, seorang pemimpin mesti pandai menahan lidah:
“Bakato musti ditimbang, bacaruik musti ditahan.”

Dan dalam era digital hari ini, petuah ini seakan ingin berkata:
"Berhentilah membanggakan hidup yang belum tentu nyata, dan tahanlah untuk tidak menyiarkan luka yang hanya akan menjadi bahan gosip."

Islam, sebagai ruh dari adat Minangkabau, juga mengajarkan hal yang sama:

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari & Muslim)

“Sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan perbuatan keji di kalangan orang beriman, bagi mereka azab yang pedih.” (QS. An-Nur: 19)

Artinya, baik adat maupun agama mengajarkan tenggang rasa, kesantunan bicara, dan bijak dalam menyampaikan sesuatu. Ini bukan soal menutup-nutupi, tapi soal adab dan maslahat.

Akhir Kata: Adat Menuntun, Agama Meneguhkan

Mari jadikan petuah ini sebagai cermin dalam hidup: 

“Jangan cepat membusungkan dada atas yang manis. Jangan tergesa menyemburkan pahit yang belum tentu selesai.”

Dalam setiap kisah hidup, ada bagian yang patut dibagikan, ada pula yang cukup disimpan dalam doa. Sebab terkadang, bukan kisah kita yang perlu didengar orang — tapi ketenanganlah yang paling kita butuhkan***

Penulis : Aldefri,SH,Malin Bagindo
Advokat dan LBH Bantuan Hukum

Komentar0

Type above and press Enter to search.