Ciloteh Kampuang tentang Manusia yang Tak Beradab
Baritonagarinews.com - Di banyak nagari kini, kita mendengar tentang satu sosok yang kian sering dibincangkan di lapau, di baringin, dan di balik rumah gadang: “duda gaek nan parewa.” Umurnya boleh kepala lima, tapi kelakuannya baru belajar jadi bujang. Gayanya bak rajo nan turun ke pasar, ucapnya keras tanpa isi, dan lakunya lebih sibuk mengusik anak gadih dari menjaga martabat.
Di kampung yang masih hidup adatnya, muncul celaan:
“Muluik kasa, jadi kabancian kampuang.”
(Mulut kasar, jadi bahan gunjingan nagari.)
“Kacak langan lah bak langan, kacak batih lah bak batih.”
Artinya: jika hendak bersikap, tahu batas diri; jika hendak berbicara, ukur lidah dengan akal.
Namun si parewa duda ini menjual tampang, menabur bualan, menyembunyikan ketidakberdayaan di balik sorak sorai palsu. Ia bukan lagi tokoh, tapi jadi bahan cerita—bukan karena kehebatan, tapi karena keburukan yang dipamerkan.
Adat Minangkabau tak sekadar pakaian penghulu dan bunga di saluak. Adat adalah laku hidup yang bersendi budi dan bimbingan syarak. Maka bila seorang duda menyimpang, bertindak sembarangan, bicara semaunya, dan meremehkan perempuan serta mamak-mamak dalam kampungnya, maka adat menilai:
“Bajalan indak mahantam tanah, mangecek indak ka langik.”
(Melangkah tak membumi, berbicara tak sadar ada Tuhan yang menyaksi.)
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari-Muslim)
“Dan janganlah berjalan dengan sombong di bumi…”
(QS. Al-Isra’: 37)
Saat lelaki tua menjadi racun sosial, membawa-bawa martabat nagari untuk kepentingan pribadi, menabur fitnah, dan mempermalukan anak kemenakan—maka masyarakat adat patut bersuara. Karena bila dibiarkan, akan muncul generasi baru yang belajar pada yang rusak.
“Jikok ado buruak, kok indak ditaga, hilanglah elok kampuang.”
Saatnya Kampung Bicara
Kita butuh “urang tuo nan basantun, nan batimbang, nan batuladan”, bukan duda gaek yang menjual kisah masa lalu sambil menampar harga diri orang lain.
Maka, kepada siapa pun yang merasa duda tapi berisi, bukan sekadar parewa baju ranggi dan muluik kasa—tundukkan diri, perbaiki lidah, dan kembalilah ke pangkal adat. Karena adat yang sejati tak akan menanggung aib, tak akan merawat duri.
“Nan batangkek dibuang, nan baracun ditampi, nan busuk disingkir.”
Jangan biarkan “duda parewa jo lidah tak batulang” menjadi potret rusak nagari yang dulu kita banggakan. Mari jaga lidah, tata laku, dan balutlah umur dengan akhlak.
Karena kata orang tua kita dahulu:
“Urang tuo nan bijak, ndak babunyi tinggi, tapi dalam kato, basuo budi.”***
Penulis : Aldefri,SH,Malin Bagindo
Advokat dan LBH Bantuan Hukum
Redaksi
Komentar0