TSOlTfzlGpdoGUGlTpzlTUOiTd==

Sumatera Nyaris Tenggelam! Gelombang Banjir dan Jejak Kayu yang Mengungkap Luka Hutan Sumatera

Artikel

Penulis: Anggi Khoirunnisa Harahap (Mahasiswi- Departemen Biologi Universitas Andalas). 

Sumber Photo: Dokumentasi Pribadi Reva H.P

Air itu datang tanpa mengetuk. Mengalir dari pegunungan, menghantam lembah dan desa-desa, lalu berubah menjadi tembok air yang menyapu apa saja di depannya. Pada akhir 2025, Sumatera nyaris tenggelam. Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan sekadar musibah musiman, tetapi peringatan keras yang mengguncang kesadaran publik. Bersama puing rumah, kendaraan, dan tanah longsor, ada pemandangan yang menyayat hati: gelondongan kayu raksasa berserakan di jalan, tersangkut di jembatan, memenuhi sungai, hingga terdampar di bibir pantai. Kayu-kayu itu adalah bukti paling jujur tentang apa yang terjadi di hulu bahwa hutan telah lama dilukai dan kini kehilangan kemampuannya menyembunyikan derita.

Menurut BNPB, banjir ini berdampak pada kawasan seluas hampir 170.000–172.949 km², mencakup lebih dari 50 kabupaten/kota. Sekitar 3,3 juta jiwa terdampak langsung, dengan 753 orang tewas, 650 hilang, dan lebih dari 2.600 luka-luka. Ratusan desa rusak parah, sebagian lainnya hilang tersapu arus. Jalan terputus, jembatan roboh, listrik padam, dan Tapanuli, Pidie Jaya, serta Padang menjadi saksi kerusakan paling brutal. Kawasan yang dulunya subur berubah menjadi cekungan luas berisi lumpur pekat.

Namun bencana ini tidak lahir semata-mata dari curah hujan ekstrem. Ia adalah puncak dari proses panjang yang melibatkan penebangan pohon, pembukaan lahan, tekanan ekonomi, dan buruknya tata kelola lingkungan. Gelondongan kayu yang hanyut bukan “jatuh dari langit” melainkan datang dari hutan yang dipaksa menyerah.

Dalam Podcast Unand Official, Dr. Wilson Novarino, dosen Biologi Universitas Andalas, memberikan penjelasan yang membuka perspektif baru. Ia menyatakan bahwa orang sering salah memahami illegal logging. Banyak yang mengira tujuan utamanya adalah mengambil kayu. Padahal menurutnya, “orang menebang bukan untuk kayunya. Jika itu tujuannya, kayu akan dimanfaatkan. Faktanya, mereka menebang untuk membuka akses terhadap lahan.” Pernyataan ini mengubah cara pandang: penebangan bukan sekadar eksploitasi kayu, tetapi strategi untuk menguasai ruang—untuk kebun, ladang, atau bentuk pemanfaatan lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Ketika dicermati lebih dalam, inti persoalan penurunan tutupan hutan di Sumatera justru adalah konversi lahan. Kayu hanyalah “produk samping” yang dicari adalah lahannya. Dr. Wilson menambahkan, setelah berdiskusi langsung dengan para penebang di lapangan, sebagian besar dari mereka melakukan pekerjaan itu bukan karena ingin merusak hutan, tetapi karena tidak punya pilihan lain. “Jika ada pekerjaan lain yang memberi nilai ekonomi yang sama, mereka akan berhenti,” ujarnya. Inilah simpul persoalan yang sering luput: deforestasi bukan hanya persoalan ekologi, tetapi persoalan ekonomi.

Selama tekanan ekonomi tinggi dan alternatif penghidupan minim, hutan akan menjadi korban. Penegakan hukum saja tidak cukup. Kita mungkin bisa menindak puluhan penebang, tetapi selama ketimpangan ekonomi di sekitar hutan tidak diperbaiki, ratusan orang lain akan menggantikan mereka.

Banjir Sumatera 2025 menjadi bukti pahit bahwa ketika hutan kehilangan fungsinya sebagai pelindung, bencana tak terelakkan. Hutan adalah spons alami yang menyerap air, menahan aliran permukaan, dan menjaga stabilitas tanah. Ketika hutan dibabat dan digantikan lahan terbuka, tanah menjadi rapuh. Saat hujan ekstrem turun, air tidak lagi meresap ia meluncur cepat, membawa lumpur, batu, dan batang kayu yang seharusnya tetap tegak di hulu. Pemandangan gelondongan kayu setelah banjir adalah bukti kegagalan tata kelola lingkungan, bukan sekadar “jejak kriminal”.

Di banyak wilayah Sumatera, terutama yang berbukit curam, konversi lahan dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologis. Jalan bukaan baru membelah aliran air dan mempercepat potensi longsor. Dalam kondisi seperti itu, banjir bandang bukan hanya kemungkinan, melainkan keniscayaan.

Meski begitu, mengurai persoalan ini tidak bisa berhenti pada aspek kerusakan ekologis saja. Kita harus melihatnya sebagai persoalan menyeluruh yang melibatkan kebijakan negara, teknologi pengawasan, dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Berbagai strategi dapat dilakukan: memperkuat penegakan hukum, meningkatkan monitoring tutupan hutan, menegaskan batas hutan lindung, memberikan insentif reboisasi, serta menyediakan alternatif ekonomi hijau bagi masyarakat sekitar hutan.

Finlandia sering menjadi contoh bagaimana pengelolaan hutan yang baik membutuhkan integrasi teknologi, regulasi, dan ekonomi. Di sana, setiap pohon yang ditebang wajib diganti dengan penanaman baru minimal dalam jumlah sama. Teknologi citra satelit dan AI digunakan untuk memantau aktivitas hutan secara real-time, sementara sertifikasi seperti FSC dan PEFC memastikan transparansi industri kehutanan. Indonesia sebenarnya mampu menerapkan sistem serupa teknologi tersedia, ahli mencukupi, dan kesadaran publik meningkat. Yang dibutuhkan adalah keberanian politik dan konsistensi implementasi.

Langkah konservasi perlu diperkuat: pengawasan lapangan dengan dukungan teknologi, batas hutan lindung yang jelas, reboisasi ketat dengan spesies asli, serta skema monitoring berlapis yang menjamin keberlanjutan dari hulu ke hilir. Upaya ini adalah benteng terakhir untuk mencegah banjir besar berulang.

Banjir Sumatera 2025 harus menjadi titik balik, bukan sekadar catatan kelam sejarah bencana. Ketika air surut dan lumpur mengering, kita harus menyisakan satu hal yang tidak boleh hanyut: kesadaran bahwa hutan adalah pelindung terakhir kita. Sumatera tidak sedang memberi pesan pelan ia sedang berteriak. Jika kita ingin masa depan yang aman dan layak, bertindak bukan lagi pilihan, tetapi kewajiban bersama.(***) 


Komentar0

Type above and press Enter to search.