foto : ilustrasi
Penulis : LindaFang
Editor : Jon Indra
Opini, baritonagarinews.com - Mereka duduk di balik meja, di ruangan berpendingin, bercanda sambil menyeruput kopi seharga sekarung beras.
Tapi kami para kuli tinta masih berkutat mencari pulsa untuk mengirim berita, dan sepiring nasi untuk mengganjal perut.
Enam bulan terakhir terasa seperti bertahun-tahun. Saat pena sudah nyaris patah oleh lelah, dan isi dompet lebih sering kosong ketimbang isi kulkas.
Ada yang menyebutnya "kaum kelambu" orang-orang yang hidup nyaman di balik tirai kekuasaan. Mereka tak muncul di media, tapi menguasai alurnya.
Sementara kami, para jurnalis yang terus menulis demi nurani, justru berjalan tertatih, menumpang di angkot, bahkan kadang memilih minum air galon sisa kantor demi mengisi perut yang kosong.
“Aku pernah diam-diam menangis di balik kamera, saat harus meliput pesta mewah. Bukan karena tak kuat, tapi karena tahu aku tak akan pernah bisa duduk di meja itu, ” ucap seorang kawan, jurnalis lapangan, dengan suara bergetar.
Kami tak meminta banyak. Hanya ingin hidup layak, tanpa harus menjual nurani. Tapi dunia terlalu bising untuk mendengar suara pena kami yang serak.
Ada yang bilang, wartawan harus tahan banting. Tapi bantingan hidup kami bukan soal kata-kata, melainkan kenyataan. Ada yang tinggal di kontrakan sempit, ada yang jual motor untuk biaya anak sekolah, ada pula yang memilih diam dan menghilang dari dunia jurnalistik karena tak kuat menahan lapar dan kecewa.
Dan saat kami menulis berita tentang bantuan, tentang keadilan, tentang transparansi, kami tahu, sebagian dari mereka yang membaca justru sedang duduk nyaman, tertawa sambil menyembunyikan kunci brankas di balik laci meja kekuasaan.
Ironi terbesar bukanlah saat kami tak dihargai. Tapi ketika kami dipaksa tetap tersenyum, menulis manis tentang orang-orang yang membiarkan kami kelaparan.
Namun pena kami belum mati.
Meskipun perih, meskipun tak ada yang peduli, kami tetap menulis. Karena kami percaya, suatu hari, kebenaran akan sampaimeskipun harus tertatih, melalui tinta yang lapar.
Penulis adalah salah seorang jurnalis di kota Bukittinggi
0 Komentar