Recent Post



Okta Zulfitri, SH, MH, Jadi Narsum Bimtek Pembinaan Lembaga Adat Implementasi Restorative Justice Di Solok Selatan

PADANG ARO, BN News - Kepala Seksi Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda pada Asisten Tindak Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Okta Zulfitri, SH. MH, tampil sebagai Nara sumber pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek)Pembinaan Lembaga Adat “Implementasi Restorative Justice di Wilayah Hukum Solok Selatan” yang digelar di Hotel Pesona Sangir, Padang Aro, Kabupaten Solok Selatan, Kamis (8/12/2022). 

Bimtek yang dibuka secara resmi oleh Bupati Solok Selatan H. Khairunas dan dihadiri Pejabat Forkopimda setempat itu, diikuti dengan sangat antusias oleh seluruh peserta kegiatan. 

Yang terdiri dari para Camat, Wali Nagari, Ketua KAN Se-Kabupaten Solok Selatan, Ketua dan Pengurus Inti Bundo Kanduang Kabupaten dan Bundo Kanduang Limbago. 

Okta Zulfitri, SH. MH dalam pemaparanya diacara Bimtek itu antara lain menyebutkan bahwa, Keadilan Restoratif atau Restoratif Justice adalah : Penyelesaian penanganan perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban dan pihak lain. 

Yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil, dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan bersifat pembalasan. 

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Kejaksaan kata Okta Zulfitri, SH, MH, yang juga pernah bertugas di Kejaksaan Negeri Solok itu mengemukakan, merupakan sebagai lembaga pemerintahan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan Kehakiman. Yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang Penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.

" Ketentuan tersebut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan " tutur Okta Zulfitri. 
Dari ketentuan Pasal 139 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ujar Okta Zulfitri, Jaksa selaku Penuntut Umum, menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang sudah lengkap dari Penyidik. Ia segera menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan. 

" Dan dalam Pedoman Jaksa Agung Nomor 24 Tahun 2021 tentang Pedoman Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum, juga menyebutkan bahwa Penuntut Umum memiliki kewenangan penilaian atas hasil penyidikan apakah sudah memenuhi syarat materil dan formil yang tidak didasarkan hanya kepada keterangan ahli hukum pidana pada berkas perkara, namun ditentukan oleh Penuntut Umum itu sendiri " kata Okta Zulfitri. 

Okta juga menyebutkan bahwa, sebagaimana telah dikemukakan diatas, penerapan Restorative Justice oleh Kejaksaan, dalam hal ini oleh Penuntut Umum adalah merupakan alur penyelesaian perkara dengan melakukan penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif. 

Dalam artian, penyelesaian perkara dilakukan diluar persidangan atau dengan kata lain, Penuntut Umum dengan kewenangannya melakukan penghentian penuntutan dengan tidak lagi melakukan pelimpahan perkara ke Pengadilan Negeri setempat. 

" Dengan permintaan untuk diperiksa dan diadili, serta dijatuhi hukuman pemidanaan sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku " tutur Okta Zulfitri. 

Ia juga menyebutkan bahwa, penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum sebagai perwujudan dari penerapan azas hukum pidana, yaitu azas Dominus Litis, yang mengandung makna Dominus sebagai pemilik sedangkan Litis berarti perkara. 

" Dengan demikian bahwa, Jaksa selaku Penuntut Umum adalah sebagai pemilik dari perkara, karena tidak ada badan lain yang berhak melakukan penuntutan selain Penuntut Umum yang bersifat absolut " katanya

Oka menuturkan, selain sebagai penerapan azas hukum Dominus Litis, penghentian penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum juga merupakan sebagai penerapan dari azas hukum Ultimum Remidium.

" Yaitu, azas hukum yang mengandung makna bahwa, pemidanaan merupakan sebagai jalan terakhir dari suatu proses penegakan hukum "tukasnya.

Masih dalam pemaparanya diacara Bimtek itu, Okta Zulfitri juga menyebutkan bahwa, dalam wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, pelaksanaan penghentian penuntutan perkara berdasarkan keadilan restoratif pada tahun 2022 terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya.

Pada tahun 2021, katanya, diusulkan penghentiannya sebanyak 4 (empat) perkara dari 4 (empat) perkara yang diusulkan.

Sedangkan pada tahun per-30 Nopember 2022 dari 22 (dua puluh dua) perkara yang diusulkan, sebanyak 16 (enam belas) perkara dikabulkan untuk dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. 

Dengan semangat Restorative Justice, kata Okta, diharapkan kedepannya akan lebih banyak lagi perkara pidana yang dihentikan penuntutan perkaranya berdasarkan keadilan restoratif. Harapan tersebut, didukung dengan telah adanya dibentuk Rumah Restorative Justice (Rumah RJ) hampir disemua daerah Kabupaten/ Kota di wilayah hukum Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

Yaitu sebanyak 107 (seratus tujuh) Rumah RJ, Rumah RJ yang telah dibentuk hampir di setiap daerah tersebut, kedepannya bukan hanya dijadikan sebagai tempat untuk melakukan permusyawarahan perdamaian antara pihak pelaku dengan pihak korban,

Namun juga diharapkan dapat sebagai tempat untuk mendapatkan informasi hukum lainnya serta sebagai tempat konsultasi hukum bagi masyarakat dengan Jaksa. 

" Sebagai perwujudan, hadirnya keberadaan Kejaksaan ditengah-tengah masyarakat " tutur Okta Zulfitri.* 

Pewarta : ris

Posting Komentar

0 Komentar